10 Puisi Wiji Thukul, Simbol Perlawanan yang Tak Lekang oleh Waktu

20 Desember 2021, 18:46 WIB
Ilustrasi Wiji Thukul. /Seputar lampung

HALOYOUTH - Wiji Thukul adalah seorang aktifis dan juga penyair yang melawan ketidakadilan dan penindasan di era orde baru. Ia kerap menyuarakan kritiknya lewat karya puisinya.

Puisi-puisi Wiji Thukul dikenal cukup kritis dan menyuarakan berbagai hal ketidakadilan yang ia rasakan pada saat itu, pada masa orde baru kritik lewat puisi sudah dianggap merujuk pada sebuah pemberontakan.

Orang-orang yang vokal dengan gagasan demokrasi saat itu dianggap dan berbahaya bagi ketertiban umum.

Pada Tahun 1998 Wiji Thukul hilang dan tidak pernah diketahui nasibnya hingga hari ini. Walaupun demikian karya-karya Wiji Thukul masih tetap abadi hingga sekarang.

Baca Juga: 10 Puisi Karya Chairil Anwar, Si 'Binatang Jalang' dan Juga Pelopor Angkatan 45

Bahkan puisi-puisinya menjadi simbol perlawanan dan inspirasi perjuangan bagi para aktifis saat ini ketika melihat ketidakadilan dan perlakuan sewenang-wenang yang dilakukan oleh para pemangku kekuasaan kepada rakyat.

Berikut 10 Kumpulan Wiji Thukul 


1. Di Bawah Selimut Kedamaian Palsu

Di Bawah Selimut Kedamaian Palsu

Apa guna punya ilmu
Kalau hanya untuk mengibuli
Apa gunanya banyak baca buku
Kalau mulut kau bungkam melulu
Di mana-mana moncong senjata
Berdiri gagah
Kongkalikong
Dengan kaum cukong
Di desa-desa
Rakyat dipaksa
Menjual tanah
Tapi, tapi, tapi, tapi
Dengan harga murah
Apa guna banyak baca buku
Kalau mulut kau bungkam melulu


2. Peringatan

Peringatan

Jika rakyat pergi
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa
Kalau rakyat bersembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar
Bila rakyat berani mengeluh
Itu artinya sudah gasat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!


3. Bunga dan Tembok

Bunga dan Tembok

Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
kau hendaki tumbuh
Engkau lebih suka membangun
rumah dan merampas tanah

Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
kau kehendaki adanya
Engkau lebih suka membangun
jalan raya dan pagar besi

Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang
dirontokkan di bumi kami sendiri

Jika kami bunga
Engkau adalah tembok itu
Tapi di tubuh tembok itu
Telah kami sebar biji-biji
Suatu saat kami akan tumbuh bersama
Dengan keyakinan: engkau harus hancur!

Dalam keyakinan kami
Di manapun - tirani harus tumbang!

Baca Juga: Contoh Puisi Hari Guru Nasional, Buat Hati Tersentuh dan Bermakna, Cek di Sini


4. Monumen Bambu Runcing

Monumen Bambu Runcing

Monumen bambu runcing
Di tengah kota
Menuding dan berteriak merdeka
Di kakinya tak jemu juga
Pedagang kaki lima berderet-deret
Walau berulang-ulang
Dihalau petugas ketertiban

Semarang, 1 Maret 86


5. Nyanyian Akar Rumput

Nyanyian Akar Rumput

Jalan raya dilebarkan
Kami terusir
Mendirikan kampung
Digusur
Kami pindah-pindah
Menempel di tembok-tembok
Dicabut
Terbuang
Kami rumput
Butuh tanah
Dengar!
Ayo gabung ke kami
Biar jadi mimpi buruk presiden!

Juli 1988


6. Suara dari Rumah-Rumah Miring

Suara dari Rumah-Rumah Miring

Di sini kamu bisa menikmati cicit tikus
Di dalam rumah miring ini
Kami mencium selokan dan sampan
Bagi kami setiap hari adalah kebisingan
Di sini kami berdesak-desakan dan berkeringat
Bersama tumpukan gombal-gombal
Dan piring-piring
Di sini kami bersetubuh dan melahirkan
Anak-anak kami
Di dalam rumah miring ini
Kami melihat matahari menyelinap
Dari atap ke atap
Meloncati selokan
Seperti pencuri
Radio dari segenap penjuru
Tak henti-hentinya membujuk kami
Merampas waktu kami dengan tawaran-tawaran
Sandiwara obat-obatan
Dan berita-berita yang meragukan
Kami bermimpi punya rumah untuk anak-anak
Tapi bersama hari-hari pengap yang menggelinding
Kami harus angkat kaki
Karena kami adalah gelandangan

Solo, Oktober 87


7. Sajak Suara

Sajak Suara

Sesungguhnya suara itu tak bisa diredam
Mulut bisa dibungkam
Namun siapa mampu menghentikan Nyanyian bimbang
Dan pertanyaan-pertanyaan dari lidah jiwaku
Suara-suara itu tak bisa dipenjarakan
Disana bersemayam kemerdekaan
Apabila engkau memaksa diamaku
Siapkan untukmu: pemberontakan!
Sesungguhnya suara itu bukan perampok
Yang ingin merayah hartamu
Ia ingin bicara
Mengapa kau kokang senjata
Dan gemetar ketika suara-suara itu
Menuntut keadilan?
Sesungguhnya suara itu akan menjadi kata
Ialah yang mengajari aku bertanya
Dan pada akhirnya tidak bisa tidak
Engkau harus menjawabnya
Apabila engkau tetap bertahan
Aku akan memburumu seperti kutukan

Baca Juga: Puisi-puisi WS Rendra yang Menjalar ke Benak Pembaca


8. Penyair

Penyair

Jika tak ada mesin ketik
Aku akan menulis dengan tangan
Jika tak ada tinta hitam
Aku akan menulis dengan arang
Jika tak ada kertas
Aku akan menulis pada dinding
Jika aku menulis dilarang
Aku akan menulis dengan
Tetes darah!


9. Tanah

Tanah

Tanah mestinya dibagi-bagi
Jika cuma segelintir orang
Yang menguasai
Bagaimana hari esok kamu tani
Tanah mestinya ditanami
Sebab hidup tidak hanya hari ini
Jika sawah diratakan
Rimbun semak pohon dirubuhkan
Apa yang kita harap
Dari cerobong asap besi
Hari ini aku mimpi buruk lagi
Seekor burung kecil menanti induknya
Di dalam sarangnya yang gemeretak
Dimakan sapi

1989-Solo


10. Catatan Suram 

Catatan Suram  

Kucing hitam jalan pelan
Meloncat turun dari atap
Tiga orang muncul dalam gelap
Sembunyi menggenggam besi
Kucing hitam jalan pelan-pelan
Diikuti bayang-bayang
Ketika sampai di mulut gang
Tiga orang menggeram
Melepaskan pukulan
Bulan disaput awan meremang
Saksikan perayaan kemiskinan
Daging kucing pindah
Ke perut orang!

Solo, 1987.***

Editor: Muhammad Jejen

Sumber: Beragam Sumber

Tags

Terkini

Terpopuler