Network
HALOYOUTH - Kebudayaan di berbagai daerah pastinya mempunyai macam-macam arti dan tujuan tersendiri. Di Indramayu pun demikian.
Sebagian besar masyarakat Indramayu tentu tidak asing dengan budaya Sintren. Sayangnya, sekarang budaya ini mulai susah ditemui karena tergerus zaman.
Baca Juga: Klarifikasi Sisca Soewitomo Soal Unggahan Foto ‘Gantung Panci’
Sintren adalah kesenian tradisional masyarakat Jawa. Kesenian ini terkenal di pesisir utara Jawa Tengah dan Jawa Barat, seperti Pemalang, Pekalongan, Brebes, Banyumas, Kuningan, Cirebon, dan Indramayu. Sebutan lain dari Sintren adalah Lair.
Dahulu kesenian sintren digelar di tempat yang luas, biasanya hanya beralaskan karpet. Tidak ada batasan antara penonton dan pemain, hal ini yang menggambarkan kesenian ini benar-benar merakyat.
Alat musik yang digunakan untuk mengiringi lenggak-lenggok penari Sintren pun sangat sederhana, hanya terdiri dari gendang, bambu besar dan kendi yang keduanya dipukul lubangnya menggunakan karet dari sandal agar muncul bunyi, ditambah dengan kemeriahan suara kecrek.
Seorang penari Sintren akan duduk dan disuguhkan seperangkat pakaian sintren lengkap dengan kacamata hitam, tak lupa kondisi kedua tangan diikat ke belakang dengan sapu tangan.
Baca Juga: Berupaya Hilangkan Disinformasi, Google Hapus 2.500 Channel YouTube
Syarat wajib bagi penari Sintren adalah, seorang perempuan yang masih perawan. Mitosnya jika hal ini dilanggar sang penari akan gila.
Setelah didudukkan penari akan dikurung menggunakan kurungan ayam yang ditutupi kain untuk beberapa saat.
Lalu, tembang yang dipercaya sebagai mantra akan dilengkingkan. Jika sudah ada gerakan dari penari ini menunjukkan bidadari telah merasuki sang penari, dibuktikan dengan pakaian penari yang awalnya masih mengenakan baju biasa berubah menjadi pakaian Sintren.
