Perjalanan Chairil Anwar, Sempat Ditolak hingga Akhirnya Diakui dan di Nobatkan sebagai Pelopor Angkatan 45

- 15 Desember 2021, 23:10 WIB
Perjalanan Chairil Anwar, Sempat Ditolak hingga Akhirnya Diakui dan di Nobatkan sebagai Pelopor Angkatan 45
Perjalanan Chairil Anwar, Sempat Ditolak hingga Akhirnya Diakui dan di Nobatkan sebagai Pelopor Angkatan 45 /https://Kemdikbud.go.id/

HALOYOUTH - Dalam sastra Indonesia Chairil Anwar dikenal sebagai penyair yang tidak dapat dilepaskan dari puisi Indonesia modern sehingga HB Jassin menobatkan dirinya sebagai pelopor Angkatan 45.

Chairil Anwar lahir pada tanggal 22 Juli 1922 di Medan, Sumatra Utara. Kemudian mengenyam pendidikan dasarnya di sekolah dasar pada masa Belanda, yaitu Neutrale Hollands Inlandsche School (HIS) di Medan. 

Setelah tamat dari HIS, Chairil Anwar kemudian meneruskan pendidikannya ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Medan, sebuah sekolah setingkat dengan SLTP. 

Di MULO Medan, Chairil Anwar hanya sampai kelas satu karena ia pindah ke Jakarta dan meneruskan kembali sekolahnya di MULO Jakarta.

Walaupun masih bersekolah di MULO, Charil Anwar sudah membaca buku-buku untuk tingkat HBS (Hogere Burger School). Di Jakarta pun Chairil Anwar hanya dapat mengikuti MULO sampai kelas dua. 

Baca Juga: 10 Puisi Karya Chairil Anwar, Si 'Binatang Jalang' dan Juga Pelopor Angkatan 45

Setelah itu, Chairil Anwar belajar sendiri (autodidak). Dan giat mempelajari bahasa Belanda, Inggris, dan Jerman, sehingga dengan kemampuanya itu ia dapat membaca dan mempelajari karya sastra dunia yang ditulis dalam bahasa-bahasa asing. 

Chairil Anwar adalah seorang penyair yang hidupnya dengan menyair. Dia mendapat uang dari hasil menulis sajak. Kemudian pada bulan Januari-Maret 1948, ia bekerja menjadi redaktur majalah Gema Suasana. 

Merasa tidak puas bekerja disana, ia pun mengundurkan diri dan kemudian bekerja sebagai redaktur di majalah Siasat sebagai pengasuh rubrik kebudayaan "Gelanggang" bersama dengan Ida Nasution, Asrul Sani, dan Rivai Apin.

Chairil berencana untuk mendirikan sebuah majalah kebudayaan yang bernama "Air Pasang" dan "Arena". Namun, belum juga terwujud rencana itu Chairil Anwar keburu meninggal dunia. 

Orang tua Chairil Anwar berasal dari Payakumbuh. Ayahnya bernama Teoloes bin Haji Manan yang bekerja sebagai ambtenar pada zaman Belanda dan menjadi Bupati Rengat pada zaman Republik tahun 1948. 

Baca Juga: Hari Santri Nasional, PB Mathla'ul Anwar Dukung Eksistensi Santri Melalui Gagasan Santripreneurship

Sedangkan Ibunya bernama Saleha yang dipanggil sebagai Mak Leha. Ketika Mak Leha menikah dengan Toeloes, Mak Leha adalah seorang janda beranak satu. Setelah Mak Leha pergi ke Jakarta bersama Chairil, Toeloes kawin lagi dengan Ramadhana atau Mak Dona juga janda beranak satu. 

Dari Ramadhana ini ayah Chairil Anwar memperoleh empat orang putri, yakni Nini Toeraiza, Toehilwa, Toehilwi, dan Toechairiyah. 

Menurut penuturan Nini Toeraiza, ayahnya itu amat keras dalam mendidik anak. Ketika Chairil ke Jakarta, ayahnya menegaskan akan membiayai sekolahnya. Namun, jika Chairil tidak bersekolah, kirimannya akan dihentikan. 

Hamka pernah bertemu dengan ayah Chairil dan Hamka mengatakan bahwa Chairil, anak lelaki satu-satunya itu, telah menjadi orang besar sebagai penyair. Ketika mendengar hal itu, ayah Chairil menitikkan air mata karena bangga dan terharu. 

Pada 5 Januari 1949 ayah Chairil meninggal ditembak Belanda ketika Aksi Polisionil Belanda terjadi di Rengat. Tiga bulan kemudian, 28 April 1949 Chairil Anwar meninggal di Jakarta. 

Baca Juga: Puisi-puisi WS Rendra yang Menjalar ke Benak Pembaca

Chairil Anwar menikah dengan Hapsah, pada tanggal 6 September 1946 di Kerawang. Hapsah adalah putri dari Haji Wiriaredjo. Sebelum menikah dengan Hapsah, Chairil pernah jatuh cinta kepada seorang gadis Jawa (Paron, Ngawi, Jawa Timur) yang bernama Sumirat. Akan tetapi, orang tua Sumirat tidak menyetujui perkawinan Sumirat dengan Chairil karena Chairil tidak mempunyai pekerjaan yang tetap. 

Dari perkawinannya dengan Hapsah, Chairil Anwar dikaruniai seorang anak yang bernama Evawani Alissa dipanggil Eva. Anaknya itu lahir pada tanggal 17 Juni 1947. 

Chairil Anwar akhirnya bercerai dengan Hapsah tanpa diketahui sebabnya. Eva dibawa oleh Hapsah. Pada usia 8 tahun baru Eva mengetahui bahwa Chairil Anwar itu ayahnya. Anak semata wayangnya ini kemudian memperoleh pendidikan tinggi hukum dan berprofesi sebagai pengacara. 

Sejak perceraian dengan Hapsah itu kesehatan Chairil Anwar menurun. Pada tanggal 23 April 1949 ia diopname di CBZ (sekarang Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo) karena sakit paru-paru. Pada tanggal 28 April 1949 Chairil Anwar meninggal dunia pukul 14.30. 

Jenazah Chairil Anwar dimakamkan pada tanggal 29 April 1949 di Pemakaman Umum Karet, Jakarta Selatan, dengan memperoleh perhatian besar dari masyarakat. 

Baca Juga: Puisi-puisi Sapardi Djoko yang Tumbuh Subur di Pikiran Pembaca

Pengalaman menulis Chairil Anwar dimulai pada tahun 1942 ketika ia mencipta sebuah sajak yang berjudul "Nisan". Dia menulis sampai dengan akhir hayatnya, yaitu pada tahun 1949. 

Pada tahun 1949 itu ia menghasilkan enam buah sajak, yaitu "Mirat Muda", "Chairil Muda", "Buat Nyonya N", "Aku Berkisar Antara Mereka", "Yang Terhempas dan Yang Luput", "Derai-Derai Cemara", dan "Aku Berada Kembali". 

Kesungguhan Chairil untuk mencipta didukung oleh kesungguhannya mempelajari sajak-sajak para pujangga terkenal dari luar negeri. 

Menurut Istrinya, Hapsah, Chairil Anwar jika berada di rumah, tidak ada lain yang diperbuatnya kecuali membaca, sampai di meja makan pun ia membawa buku, menyuap nasi sambil membaca. Di tempat tidur juga begitu, ia selalu membaca sajak-sajak dan berusaha memberikan pengertian. 

Hal itu dapat dilihat dari hasil salinannya menerjemahkan sajak-sajak sastrawan asing. Dia menyalin sajak R.M. Rilke (Jerman), H. Marsman (Belanda), E. du Perron (Belanda), dan J. Slauerhoff (Belanda), serta Nietzsche (Jerman). 

Dia menerjemahkan sajak De Laatste Dag Der Hollanders op Jawa karya Multatuli dengan judul "Hari Akhir Olanda di Jawa". Dia juga menerjemahkan sajak The Raid karya John Steinbeck (Amerika) dengan judul "Kena Gempur". Sajak yang berjudul Le Retour de l'enfant prodigue karya Andre' Gide (Perancis) diterjemahkannya dengan judul "Pulanglah Dia Si Anak Hilang". 

Selain itu, Chairil Anwar juga telah menerjemahkan karya John Cornford (Inggris), Hsu Chih Mo (Cina), Conrad Aiken (Amerika), dan W.H. Auden (Amerika). 

Selama enam setengah tahun sejak tahun 1942--1949, Charil Anwar telah menghasilkan 71 buah sajak asli, 2 buah sajak saduran, 10 sajak terjemahan, enam prosa asli, dan 4 prosa terjemahan. 

Baca Juga: Kembali Rilis, Begini Makna dan Lirik 'All Too Well' Lagu Taylor Swift yang Viral

Menurut pengakuan Chairil Anwar sendiri, menulis sebuah sajak tidak dapat sekali jadi. Setiap kata yang ditulis harus digali dan dikorek dengan sedalam-dalamnya. 

Semua kata harus dipertimbangkan, dipilih, dihapus, dan kadang-kadang dibuang, yang kemudian dikumpulkan lagi dengan wajah baru. 

Tentang peranan Chairil Anwar dalam perkembangan sastra Indonesia sudah banyak orang mengupas dan mengemukakannya. 

Peranannya Chairil Anwar itu adalah sebagai pelopor Angkatan '45. Dia berjasa dalam melakukan pembaharuan puisi Indonesia. Dalam kedudukan dan peranannya itu, Chairil diagung-agungkan dan dipuji-puji orang. 

H.B. Jassin mengatakan bahwa apabila membaca sajak-sajak Chairil Anwar, selalu kita merasa terpesona dan tidak bosan-bosannya. Setiap kali kita membacanya, pikiran kita mengembara jauh dan selalu kita menemukan sesuatu yang baru, atau sesuatu yang sebelumnya tidak kita lihat, atau kita lihat dengan mata yang lain dari sudut yang lain. 

A. Teeuw mengatakan bahwa dalam karya Chairil Anwar terdapat keanekaragaman, suatu ciri yang khusus bagi suatu kepribaian yang sedang dalam pembentukan, yang menempuh kehidupan dengan penuh gairah. 

Chairil Anwar tetap merupakan tenaga yang hidup dan nyata dalam pembangunan Indonesia. 

Melalui kepribadiannya dan puisinya, ia memberikan sumbangan terhadap pembentukan Indonesia baru, dan menolong memberikan arah kepadanya. 

Baca Juga: Lirik Lagu Sexy Girl - Lisa BLACKPINK, DJ Snake, OZUNA dan Megan Thee Stallion

Chairil Anwar mempertahankan cita-cita mulia tentang bahasa Indonesia dalam bentuk hubungan yang paling dalam, yaitu puisi. 

Sajak-sajaknya telah banyak diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa asing. Paling awal Dolf Verspoor menerjemahkan sejumlah sajak Chairil Anwar ke dalam bahasa Belanda. 

Nyonya Dickinson menerjemahkan sajak Chairil ke dalam bahasa Inggris. Burton Raffel dan Nurdin Salam menerjemahkan sajak Chairil ke dalam bahasa Inggris. 

L.C. Damais menerjemahkan lima belas buah sajak Chairil Anwar ke dalam bahasa Prancis. 

Dalam perjalanan kariernya sebagai penyair itu Chairil Anwar tidak sedikit mendapat tantangan. Dia pernah mendapat tantangan dari Sutan Takdir Alisjahbana yang merupakan Sastrawan Pujangga Baru, bahkan Sutan Takdir Alisjahbana menolak menerbitkan sajaknya Chairil di Pujangga Baru. 

Namun, akhirnya Sutan Takdir Alisjahbana mengakui kebesaran Chairil dan menyebut sajak-sajak Chairil sebagai "sambal pedas" yang "menikmatkan". 

Chairil Anwar juga mendapat kritikan tajam dari para pengarang kelompok Lekra pada paruh kedua dasawarsa 1960-an. Kelompok Lekra mengatakan Chairil Anwar sebagai penyebar sikap individualis dan wawasan humanisme universalnya yang dianggap menghambat revolusi dari visi pergerakan kaum kiri. 

Bahkan ada juga kelompok yang menyebut Chairil Anwar sebagai plagiator atas beberapa karya penyair Amerika, Belanda, dan Cina. Ihwal tindak plagiarisme yang dilakukan oleh Chairil pertama kali dikemukakan oleh Kumayas, kemudian dijadikan bahan kajian tesis oleh Surakhmad pada Fakultas Sastra UGM tahun 1960-an. 

Baca Juga: Chord dan Lirik Lagu Bahagia Eza Edmond

Kajian Surakhmad menepis tuduhan plagiarisme atas Chairil. Pamusuk Eneste (1988) mengatakan bahwa ternyata STA, Klara Akustia, Bakri Siregar, dan lain-lain, tidak bisa membendung kebebasan Chairil Anwar. 

Sejarah telah membuktikan bahwa Chairil Anwar adalah penyair besar Indonesia. Mengenai hal ini sebenarnya Chairil sendiri telah pernah meramalkannya. 

Chairil pernah berkata, "Nantilah kalau aku sudah meninggal, mereka akan mengerti. Mereka akan memujaku. Mereka akan mematungkan diriku.

Sajak-sajak Chairil Anwar itu terkumpul, antara lain, Deru Campur Debu (1949), Kerikil Tajam dan Yang Terempas dan Yang Putus (1949), dan Aku Ini Binatang Jalang (1986).***

Editor: Muhammad Jejen

Sumber: Beragam Sumber


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah