Namun seringkali wanita masih mengalami kebingungan untuk menentukan apakah mereka harus bertahan dalam pernikahan tersebut atau tidak, kapan sebaiknya mengakhir.
Baca Juga: Ternyata Bukan Cinta, Inilah Pondasi Utama Pernikahan Menurut Para Ulama
Banyak orang yang memilih bertahan dalam pernikahan yang toxic, bertahan dalam relasi yang mendzalimi diri seolah-olah memiliki anggapan bahwa diri sendiri tidak layak mendapat kehidupan dan pilihan yang lebih baik.
“Seolah-olah saya tidak punya kekuatan nih untuk mengubah garis hidup saya menjadi lebih baik. Bahkan khawatir jika kelak akan disalahkan oleh anak, oleh lingkungan,” jelas Rosalina Verauli.
Rosalina Verauli mengingatkan bahwa kehidupan yang layak diterima itu ditentukan oleh diri sendiri dan menumbuhkan anggapan bahwa diri sendiri layak mempunyai kehidupan yang lebih baik, mempunyai pasangan yang menghargai, dan berada di lingkungan yang tepat.
Kemudian kenapa masih ada seseorang yang tidak memiliki anggapan seperti itu, Rosalina Verauli merasa khawatir justru penghayatan itu timbul pada masa kanak-kanak.
Baik dan buruknya penghayatan diri seseorang terhadap dirinya sangat ditentukan oleh orang-orang disekitarnya, karena pada saat kecil anak-anak tidak memiliki saringan yang mampu mencegah kata-kata buruk yang dihujamkan pada mereka. Sehingga tidak menutup kemungkinan penghayatan itu tumbuh hingga dewasa.
“Bayangkan ketika ini terjadi sampai dewasa, mereka tidak mampu membela diri, dan menganggap normal perlakuan yang buruk. Betul jika dalam pernikahan, perceraian merupakan pilihan terkakhir yang sangat tidak dianjurkan,” tambah Rosalina Verauli.
Namun, dirinya mengingatkan ketika dampaknya sudah mendzalami diri sendiri, lebih banyak keburukannya.