10 Puisi Soe Hok Gie, Aktivis Indonesia Angkatan 66

- 21 Desember 2021, 22:32 WIB
10 Puisi Soe Hok Gie, Aktivis Indonesia Angkatan 66
10 Puisi Soe Hok Gie, Aktivis Indonesia Angkatan 66 /Foto : Halaman Facebook Soe Hok Gie | Yadhie Setiawan 2012

HALOYOUTH - Soe Hok Gie (17 Desember 1942–16 Desember 1969) adalah salah seorang aktivis Indonesia, seorang demonstran, juga seorang pelopor dan pendiri Mapala UI.

Soe Hok Gie adalah seorang mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jurusan Sejarah pada tahun tahun 1962–1969.

Gie menamatkan pendidikan SMA di Kolese Kanisius. Leluhur Soe Hok Gie berasal dari Provinsi Hainan, Republik Rakyat Cina.

Gie adalah seorang anak muda yang mempunyai pendirian dan teguh dalam memegang prinsipnya, ia rajin mendokumentasikan perjalanan hidupnya dalam sebuah buku harian. 

Buku harian Soe Hok Gie kemudian diterbitkan dengan judul Catatan Seorang Demonstran (1983).

Soe Hok Gie adalah anak keempat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan. Dia adik kandung Arief Budiman atau Soe Hok Djin, dosen Universitas Kristen Satya Wacana yang juga dikenal cukup vokal dalam perpolitikan Indonesia.

Baca Juga: Sosok Wiji Thukul, Penyair, Aktivis dan Seniman Rakyat yang Diburu Penguasa Karena Puisi-puisinya

Gie dikenal sebagai seorang penulis produktif di beberapa media massa, misalnya Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya. 

Sekitar 35 artikelnya (kira-kira sepertiga dari seluruh karyanya) selama rentang waktu tiga tahun Orde Baru, sudah dibukukan dan diterbitkan dengan judul Zaman Peralihan (Bentang, 1995).
Catatan Seorang Demonstran

Kemudian skripsi sarjana mudanya perihal Sarekat Islam Semarang, tahun 1999 diterbitkan Yayasan Bentang dengan judul Di Bawah Lentera Merah. 

Sebelumnya, skripsi S1-nya yang mengulas soal pemberontakan PKI di Madiun, juga sudah dibukukan dengan judul Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan (Bentang, 1997).

Sebagai bagian dari aktivitas gerakan, Soe Hok Gie juga sempat terlibat sebagai staf redaksi Mahasiswa Indonesia, sebuah koran mingguan yang diterbitkan oleh mahasiswa angkatan 66 di Bandung untuk mengkritik pemerintahan Orde Lama. 

Baca Juga: 10 Puisi Wiji Thukul, Simbol Perlawanan yang Tak Lekang oleh Waktu

Berikut adalah puisi-puisinya:

1.Cita-Cita

Cita- Cita 

Saya mimpi tentang sebuah dunia
Dimana ulama, buruh, dan pemuda,
Bangkit dan berkata, “Stop semua kemunafikan! Semua pembunuhan atas nama apapun!”
Dan para politisi di PBB sibuk mengatur pengangkutan gandum, beras, dan susu
Buat anak-anak yang lapar di tiga benua
Dan lupa akan diplomasi
Tak ada lagi rasa benci pada siapapun, agama apapun, ras dan bangsa apapun
Dan melupakan perang dan kebencian
Dan hanya sibuk dengan pembangunan dunia yang lebih baik
Tuhan, saya mimpi tentang dunia tadi
Yang tak pernah akan datang

Selasa, 29 Oktober 1968


2. Sebuah Tanya 

Sebuah Tanya

Akhirnya semua akan tiba
Pada suatu hari yang biasa
Pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui
Apakah kau masih selembut dahulu
Memintaku minum susu dan tidur yang lelap?
Sambil membenarkan letak leher kemejaku
(Kabut tipis pun turun pelan pelan
di Lembah Kasih, Lembah Mandalawangi
Kau dan aku tegak berdiri
Melihat hutan-hutan yang menjadi suram
Meresapi belaian angin yang menjadi dingin)
Apakah kau masih membelaiku semesra dahulu
Ketika kudekap
Kau dekaplah lebih mesra, Lebih dekat
(lampu-lampu berkelipan di Jakarta yang sepi
Kota kita berdua, yang tua dan terlena dalam mimpinya
Kau dan aku berbicara
Tanpa kata, tanpa suara
Ketika malam yang basah menyelimuti Jakarta kita)
Apakah kau masih akan berkata
Kudengar derap jantungmu
Kita begitu berbeda dalam semua
Kecuali dalam cinta
Hari pun menjadi malam
Kulihat semuanya menjadi muram
Wajah-wajah yang tidak kita kenal berbicara
Dalam bahasa yang kita tidak mengerti
Seperti kabut pagi itu
Manisku, aku akan jalan terus
Membawa kenangan-kenangan dan harapan-harapan
Bersama hidup yang begitu biru
Cahaya bulan menusukku
Dengan ribuan pertanyaan
Yang takkan pernah kutahu di mana jawaban itu
Bagai letusan berapi
Membangunkanku dari mimpi
Sudah waktunya berdiri
Mencari jawaban kegelisahan hati


3. From Soe Hok Gie With Love

From Soe Hok Gie With Love

Hari ini aku lihat kembali
Wajah-wajah halus yang keras
Yang berbicara tentang kemerdekaan
Dan demokrasi
Dan bercita-cita
Menggulingkan tiran
Aku mengenali mereka
Yang tanpa tentara
Mau berperang melawan diktator
Dan yang tanpa uang
Mau memberantas korupsi
Kawan-kawan
Kuberikan padamu cintaku
Dan maukah kau berjabat tangan
Selalu dalam hidup ini?

18 Agustus 1973


4. Cinta

Cinta

Ada orang yang menghabiskan waktunya untuk berziarah ke Mekkah
Ada orang yang menghabiskan waktunya untuk berjudi di Miraza
Tapi aku ingin habiskan waktuku disisimu, sayangku
Bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu,
Atau tentang bunga-bunga yang manis di lembah Mandalawangi
Ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di Danang
Ada bayi-bayi yang mati lapar di Biafra
Tapi aku ingin mati disisimu, manisku
Setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya
Tentang tujuan hidup yang tak satu setan pun tau
Mari sini, sayangku
Kalian yang pernah mesra, yang pernah baik, dan simpati padaku
Tegaklah ke langit luas atau awan yang mendung
Kita tak pernah menanam apa-apa
Kita tak pernah kehilangan apa-apa
Nasib terbaik adalah tidak pernah dilahirkan
Yang kedua dilahirkan tapi mati muda
Dan yang tersial adalah berumur tua
Berbahagialah mereka yang mati muda
Mahluk kecil kembalilah dari tiada ke tiada
Berbahagialah dalam ketiadaanmu

11 November 1969


5. Hidup

Hidup

Terasa pendeknya hidup memandang sejarah
Tapi terasa panjangnya karena derita
Maut, tempat penghentian terakhir
Nikmat datangnya dan selalu diberi salam
“Merasa seneng jadi landa (Belanda)
Kami adalah landa berpangkat kopral
Ini dibawah asuhan sapiteng, kapiten kok sapiteng
Ini saya mengatur sodat-sodat tidak pokro kabeh,
Semua walanda purik kabeh, tinggal aku thok,
Ini mana kapten kok tidak datang, ini kapten lali po piye?”
“Merasa seneng menjadi aktivis
Kami adalah aktivis berpangkat kopral
Ini dibawah asuhan aktivis reformasi lanjutkan,
Berkelanjutan kok lanjutkan
Ini saya mengatur saudara-saudara aktivis yang sudah
Muak dan bosan dengan ideologi dan kemiskinannya
Semua aktivis melacur, tinggal aku aktivis yang belum disunat
Ini mana kaptennya aktivis kok belum datang, lupa atau gimana?”
“Akhir-akhir ini saya selalu berpikir,
Apa gunanya semua yang saya lakukan ini.
Saya menulis, melakukan kritik kepada banyak orang…
Makin lama semakin banyak musuh saya dan
Makin sedikit orang yang mengerti saya.
Kritik-kritik saya tidak mengubah keadaan.
Jadi, apa sebenarnya yang saya lakukan…
Kadang-kadang saya merasa sungguh kesepian.”

Baca Juga: 10 Puisi Karya Chairil Anwar, Si 'Binatang Jalang' dan Juga Pelopor Angkatan 45


6. Kepada Pejuang-pejuang Lama

Kepada Pejuang-pejuang Lama

Biarlah mereka yang ingin dapat mobil, mendapatnya.
Biarlah mereka yang ingin dapat rumah, mengambilnya.
Dan datanglah kau manusia-manusia
Yang dahulu menolak, karena takut ataupun ragu.
Dan kita, para pejuang lama
Yang telah membawa kapal ini keluar dari badai
Yang berani menempuh gelombang (padahal pelaut-pelaut lain takut)
(kau tentu masih ingat suara-suara dibelakang…”mereka gila”)
Hai, kawan-kawan pejuang lama
Angkat beban-beban tua, sandal-sandal kita, sepeda-sepeda kita
Buku-buku kita ataupun sisa-sisa makanan kita
Dan tinggalkan kenangan-kenangan dan kejujuran kita
Mungkin kita ragu sebentar (ya, kita yang dahulu membina
Kapal tua ini
Di tengah gelombang, ya kita betah dan cinta padanya)
Tempat kita, petualang-petualang masa depan akan
Pemberontak-pemberontak rakyat
Di sana…
Di tengah rakyat, membina kapal-kapal baru untuk tempuh
Gelombang baru.
Ayo, mari kita tinggalkan kapal ini
Biarlah mereka yang ingin pangkat menjabatnya
Biarlah mereka yang ingin mobil mendapatnya
Biarlah mereka yang ingin rumah mengambilnya.
Ayo,
Laut masih luas, dan bagi pemberontak-pemberontak
Tak ada tempat di kapal ini
Tentang kemerdekaan
Kita semua adalah orang yang berjalan dalam barisan
Yang tak pernah berakhir,
Kebetulan kau baris di muka dan aku di tengah
Dan adik-adikku di belakang
Tapi satu tugas kita semua,
Menanamkan benih-benih kejantanan yang telah kau rintis….
Kita semua adalah alat dari arus sejarah yang besar
Kita adalah alat dari derap kemajuan samua;
Dan dalam berjuang kemerdekaan begitu mesra berdegup
Seperti juga perjalanan di sisi penjara
Kemerdekaan bukanlah soal orang-orang yang iseng dan pembosan
Kemerdekaan adalah keberanian untuk berjuang
Dalam derapnya, dalam desasnya, dalam raungnya kita
Adalah manusia merdeka
Dalam matinya kita smua adalah
Manusia terbebas.
Mandalawangi-Pangrango
Sendja ini, ketika matahari turun
Ke dalam djurang-djurang mu
Aku datang kembali
Ke dalam ribaanmu, di dalam sepimu
Dan dalam dinginnya.
Walaupun setiap orang berbicara
Tentang manfaat dan guna
Aku bicara terima kau dalam keberadaanmu
Seperti kau terima daku.
Aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi
Sungaimu adalah njanjian keabadian tentang tiada
Hutanmu adalah misteri segala
Tjintamu dan tjintaku adalah kebisuan semesta.
Malam itu ketika dingin dan kebisuan
Menjelimuti mandalawangi
Kau datang kembali
Dan bitjara padaku tentang kehampaan semua.
“hidup adalah soal keberanian,
Menghadapi jang tanda tanya
Tanpa kita bisa mengerti, tanpa kita bisa menawar
Terimalah, dan hadapilah.
Dan antara ransel-ransel kosong
Dan api unggun yang membara
Aku terima itu semua
Melampaui batas-batas hutanmu,
Melampaui batas-batas djurangmu
Aku cinta padamu Pangrango
Karena aku cinta pada keberanian hidup


7. Mandalawangi - Pangrango

Mandalawangi - Pangrango

Senja ini, ketika matahari turun 
Kedalam jurang-jurangmu
Aku datang kembali
Kedalam ribaanmu, dalam sepimu dan dalam dinginmu

Walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna
Aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan
Dan aku terima kau dalam keberadaanmu
Seperti kau terima daku

Aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi
Sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
Hutanmu adalah misteri segala
Cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta

Malam itu ketika dingin dan kebisuan Menyelimuti Mandalawangi Kau datang kembali
Dan bicara padaku tentang kehampaan semua

“Hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya “tanpa kita mengerti, tanpa kita bisa menawar
‘Terimalah dan hadapilah

Dan antara ransel-ransel kosong dan api unggun yang membara
Aku terima ini semua
Melampaui batas-batas hutanmu
Melampaui batas-batas jurangmu

Aku cinta padamu Pangrango
Karena aku cinta pada keberanian hidup

Jakarta 19 Juli 1966


8. Sebuah Tanya

Sebuah Tanya 

“Disana, di Istana sana, Sang Paduka Yang Mulia Presiden tengah bersenda gurau dengan isteri-isterinya. Dua ratus meter dari Istana, aku bertemu si miskin yang tengah makan kulit mangga. Aku besertamu orang-orang malang…” – Soe Hok Gie

“Akhirnya semua akan tiba
pada suatu hari yang biasa
pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui
apakah kau masih berbicara selembut dahulu?
memintaku minum susu dan tidur yang lelap?
sambil membenarkan letak leher kemejaku”

(Kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih, lembah mendala wangi
kau dan aku tegak berdiri, melihat hutan-hutan yang menjadi suram
meresapi belaian angin yang menjadi dingin)

“Apakah kau masih membelaiku semesra dahulu
ketika ku dekap kau, dekaplah lebih mesra, lebih dekat”

(Lampu-lampu berkelipan di jakarta yang sepi, kota kita berdua, yang tua dan terlena dalam mimpinya. kau dan aku berbicara. tanpa kata, tanpa suara ketika malam yang basah menyelimuti jakarta kita)

“Apakah kau masih akan berkata, kudengar derap jantungmu. kita begitu berbeda dalam semua
kecuali dalam cinta?”

(Haripun menjadi malam, kulihat semuanya menjadi muram. wajah2 yang tidak kita kenal berbicara dalam bahasa yang tidak kita mengerti. seperti kabut pagi itu)

“Manisku, aku akan jalan terus
membawa kenangan-kenangan dan harapan-harapan
bersama hidup yang begitu biru”

Selasa, 1 April 1969


9. Pesan 

Pesan

Hari ini aku lihat kembali
Wajah-wajah halus yang keras
Yang berbicara tentang kemerdekaaan
Dan demokrasi
Dan bercita-cita
Menggulingkan tiran

Aku mengenali mereka
yang tanpa tentara
mau berperang melawan diktator
dan yang tanpa uang
mau memberantas korupsi

Kawan-kawan
Kuberikan padamu cintaku
Dan maukah kau berjabat tangan
Selalu dalam hidup ini?

Baca Juga: Puisi-puisi WS Rendra yang Menjalar ke Benak Pembaca

18 Agustus 1973


10. Tentang Kemerdekaan

Tentang Kemerdekaan

Kita semua adalah orang yang berjalan dalam barisan yang tak pernah berakhir,
kebetulan kau baris di muka dan aku di tengah
dan adik-adikku di belakang
tapi satu tugas kita semua.
menanamkan benih-benih kejantanan yang telah kau rintis
…..
Kita semua adalah alat dari arus sejarah yang besar
Kita adalah alat dari derap kemajuan semua;

Dan dalam berjuang kemerdekaan begitu mesra berdegup
Seperti juga perjalanan di sisi penjara

Kemerdekaan bukanlah soal orang-orang yang iseng dan pembosan
Kemerdekaan adalah keberanian untuk berjuang
Dalam derapnya, dalam desasnya, dalam raungnya kita
Adalah manusia merdeka
Dalam matinya kita semua adalah manusia terbebas.***

Editor: Muhammad Jejen

Sumber: Beragam Sumber


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah