Komnas HAM: Pasal Penodaan Agama Tidak Jelas Batasannya

- 22 Agustus 2020, 11:42 WIB
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).*
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).* /Dok. Istimewa


HALOYOUTH – Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik, menyoroti penerapan pasal penodaan agama yang cenderung diskriminatif di beberapa daerah.



Ia mengatakan, unsur diskriminatif ini dirasa karena batasan dari pasal tersebut tidak jelas. Sebagai contoh, ia menerangkan, di satu kasus bisa dianggap sebaga penodaan agama, tetapi di kasus lainnya tidak.



Baca Juga: Ridwan Kamil Meminta Doa agar Diberi Kelancaran saat Disuntik Vaksin Covid-19



Dirinya memberi contoh diskriminasi penerapan pasal penodaan agama, misalnya jika dilakukan kelompok mayoritas di wilayah Jawa yang mayoritas penduduknya beragama muslim, maka cenderung selamat dari deliknya. Akan tetapi jika dilakukan oleh kaum minoritas akan diproses hukum.



"Kalau itu di Jawa yang mayoritas muslim kalau itu dilakukan oleh orang atau tokoh yang beragama Islam dia selamat dari deliknya, tapi kalau dilakukan dengan minoritas terbalik, dia akan kena dengan pasal itu atau kasus yang kurang lebih sama," ujarnya, dalam diskusi bertajuk tren penodaan agama di Indonesia, Jumat 21 Agustus 2020.



"Sebaliknya kalau di NTT dia akan sama nasibnya seperti di Jawa dan Sumatera, jadi bukan hanya fleksibel pasalnya, tapi juga dia cenderung diskriminatif dan menimbulkan problem yang berdampak pada sosial politik kita," imbuhnya. Sebelumnya diberitakan Galamedia, dalam artikel “Komnas HAM Sebut Penerapan Pasal Penodaan Agama Cenderung Diskriminatif di Beberapa Daerah”.



Baca Juga: Akan Lakukan Uji Klinis Vaksin Covid-19, WHO Ingatkan Rusia untuk Hati-Hati


Komnas HAM juga menyoroti kasus penodaan agama yang diterapkan pada kasus Meiliana, yang sempat ramai belakangan, akibat terganggu karena suara adzan dari toa masjid. Lebih jauh ia menjelaskan, kasus itu tak punya konsekuensi atas dampak sosial, tetapi ada pihak yang memviralkan dan mengaku terganggu sehingga diproses pidana.



"Kasus Meiliana agak sedikit berbeda ya, saya selalu mengatakan saya juga diminta diskusi tentang overcrowded di lapas dan di rutan kalau misalnya kasus-kasus seperti itu kita pidanakan, ya enggak enak lah, penjara kita makin penuh hanya karena seorang ibu-ibu yang nyinyir karena ada toa yang keras di depan rumahnya, [lantas] dipidana. Memang perilaku Meiliana kurang sopan tapi bukan berarti dipidana," jelasnya.



Selain itu, Komnas HAM menilai berbagai regulasi terkait pasal penodaan agama justru cenderung menimbulkan masalah, terutama cenderung marak terjadi pada masa pemilihan umum.



Adapun regulasi terkait penodaan agama misalnya Penetapan Presiden No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, Pasal 156A KUHP.



Dalam penerapannya, ketentuan yang digunakan berlapis dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan lainnya, diantaranya UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan UU No. 19 Tahun 2016 (UU ITE), serta UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Serta surat edaran Kapolri No. SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian.



Baca Juga: Temukan Pelanggaran Protokol Kesehatan, Wakil Bupati Garut Ingin Cabut Izin Wisata dan Pernikahan



"Kita punya berbagai regulasi, yang regulasi ini sebetulnya sudah banyak menimbulkan masalah, dia bisa mengenai siapa saja apalagi kalau dalam situasi politik yang sedang hangat [seperti] Pilkada, Pileg, Pilpres, Pemilu itu menambah siapa-siapa saja bisa kena." Ucapnya.



Lebih lanjut, Komnas HAM telah membuat Standar Norma dan Pengaturan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan. Komnas HAM juga telah memberikan rekomendasi kepada DPR dan pemerintah dalam pembahasan RUU KUHP sebelumnya.



Komnas HAM menilai pengaturan mengenai keagamaan tumpang tindih dengan UU ITE sehingga, Taufan mendorong adanya perumusan definisi yang lebih jelas mengenai frasa permusuhan.



Selain itu, Komnas HAM mendorong agar penerapan pasal penodaan agama diberikan pada tokoh masyarakat karena bisa berdampak luas dan berhati-hati mengeluarkan pendapatnya.***(Dicky Aditya/Galamedia)

Baca Juga: Prakiraan Cuaca Bandung, Sabtu 22 Agustus 2020

 

Editor: Ade Rosman

Sumber: Galamedia


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah