Puisi-puisi Sapardi Djoko yang Tumbuh Subur di Pikiran Pembaca

19 Juli 2020, 13:51 WIB
Sapardi Djoko Damono. *@damonosapardi /@damonosapardi/

HALOYOUTH – Sapardi Djoko adalah sosok yang tak perlu diragukan lagi dalam berpuisi.

Ia termasuk penyari ternama Indonesia yang telah melahirkan banyak puisi-puisi romantis dan hebat.

Karyanya tumbuh dan menjalar subur pada pikiran dan benak pembacanya.

Romantisme yang tersaji pada karyanya pun selalu melekat dan digunakan untuk contoh seseorang dalam membuat puisi.

Berikut ini Halo Youth akan membagikan beberapa karya Sapardi yang begitu indah.

Baca Juga: Fakta atau Hoaks: Palestina Dihapus dari Google Maps dan Apple Maps?

1. Hujan Bulan Juni

Tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni

Dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu

Tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan Juni

Dihapusnya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu

Tak ada yang lebih arif dari hujan bulan Juni

Dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu

2. Aku Ingin

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

Baca Juga: Pakai Hero Ini Untuk Membuat Musuh Babak Belur di Early Game Mobile Legends

3. Segalanya

Segalanya masih akan bersama kamu: awan yang suka tersentak, warna senja yang selalu baru, wajah telaga di belakang rumah, bahkan angin, yang tak pernah kausapa tetapi yang suka menyombongkan diri sebagai yang paling setia selama ini, duduk di pangkuanmu (Jangan ganggu!) Setelah capek menempuh samudra, perbukitan, dan kembali agar bisa didengarnya kata-katamu yang bahkan aku dengan susah payah bisa memahaminya.

Kalau nanti aku, alhamdulillah, harus pergi semua jmasih akan tetap tinggal bersamamu; ketika kau batuk-batuk dan buru-buru mencari OBH, ketika kau mengecilkan suara volume ampli ingat tetangga sebelah sedang sakit, ketika kau mendengar jerit air mendidih dan buru-buru menuangkannya ke dalam ember untuk mandi pagi; ya, semua itu masih akan bersamamu ketika aku tak lagi di rumah ini.

Kursi kamar tamu yang dicakar-cakar kucing, lukisan Bali yang miring lagi begitu diluruskan, buku-buku yang bertebaran (Jangan diatur!), meja makan rotan yang sudah bosan politur, tempat sepatu yang penuh bekas bungkus plastik, lemari es yang dengan sabar bertahan belasan tahun, cangkir kopi dan mangkuk untuk sarapan bubur, jam dinding yang detaknya tak kedengaran, kasur, bantal, guling, seprei, pesawat telepon di dekat tempat tidur, telepon selular yang biasanya aku bawa kemana-mana: semua masih akan bersamamu, sayang padamu.

4. Hatiku Selembar Daun

Hatiku Selembar daun, melayang di rumput

Nanti dulu, biarkan aku sejenak terbaring di sini; ada yang masih ingin kupandang, yang selama ini senantiasa luput

Sesaat adalah abadi sebelum kausapu tamanmu setiap pagi

5. Yang Fana Adalah Waktu

Yang fana adalah waktu. Kita abadi memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga sampai pada suatu hari

Kita lupa untuk apa

"Tapi, yang fana adalah waktu bukan?" tanyamu

Kita abadi

Baca Juga: Sarah Records, Refleksi Asa Menentang Kapitalisme Melalui Musik

6. Pada Suatu Hari Nanti

Pada suatu hari nanti,

Jasadku tak akan ada lagi,

Tapi dalam bait-bait sajak ini,

Kau tak akan kurelakan sendiri.

Pada suatu hari nanti,

Suaraku tak terdengar lagi,

Tapi diantara larik-larik sajak ini.

Kau tetap akan kusiasati,

Pada suatu hari nanti,

Impianku tak dikenal lagi,

Namun disela-sela huruf sajak ini,

Kau tak akan letih-letih kucari

7. Sajak Kecil Tentang Cinta

Mencintai angin harus menjadi suit

Mencintai air harus menjadi ricik

Mencintai gunung harus menjadi terjal

Mencintai api harus menjadi jilat

Mencintai cakrawala harus menebas jarak

Mencintai-mu harus menjelma aku

Baca Juga: Penyair Sapardi Djoko Damono Tutup Usia

8. Pada Suatu Magrib

Susah benar menyeberang jalan di Jakarta ini, hari hampir magrib, hujan membuat segalanya tak tertib

Dan dalam usia yang hampir enam puluh ini, 

Astagfirullah ! Rasabya di mana-mana ajal mengintip

9. Perahu Kertas

Waktu masih kanak-kanak kau membuat perahu kertas dan kau layarkan di tepi kali; alirannya sangat terang, dan perahumu bergoyang menuju ke lautan.

"Ia akan singgah dib Bandar-bandar besar," kata seorang lelaki tua.

Kau sangat gembira, pulang dengan berbagai gambar warna-warni di kepala.

Sejak itu kau pun menunggu kalau-kalau ada kabar dari perahu yang tak lepas dari rindumu itu.

Akhirnya kau dengar juga pesan si tua itu,"Nuh", katanya,

"Telah kupergunakan perahumu itu dalam sebuah banjir besar dan kini terdampar di sebuah bukit".

10. Tentu Kau Boleh

Tentu. Kau boleh masuk, masih ada ruang di sela-sela butir-butir darahku.

Tak hanya ketika rumahku sepi, angin hanya menyentuh gorden, laba-laba menganyam jaring, terdengar tetes air keran yang tak ditutup rapat; dan di jalan sama sekali tidak ada orang atau kendaraan lewat.

Tapi juga ketika turun hujan, air tempias lewat lubangan angin, selokan ribut dan meluap ke pekarangan, genting bocor dan aku capek menggulung kasur dan mengepel lantai.

Tentu. Kau boleh mengalir di sela-sela butir darahku, keluar masuk dinding-dinding jantungku, menyapa setiap sel tubuhku.

Tetapi jangan sekali-kali pura-pura bertanya kapan boleh pergi atau seenaknya melupakan percintaan ini.

Sampai huruf terakhir sajak ini, kau-lah yang harus bertanggung jawab atas air mataku.

Halo Youth itulah puisi-puisi yang sangat indah dari Sapardi Djoko Damono. Gimana apakah kalian terinspirasi membuat puisi setelah membaca karya Sapardi?.***

Editor: Alvin Aditya Saputra

Tags

Terkini

Terpopuler