10 Puisi Karya Chairil Anwar, Si 'Binatang Jalang' dan Juga Pelopor Angkatan 45

15 Desember 2021, 15:07 WIB
Ilsutrasi: 10 Puisi Karya Chairil Anwar, Si 'Binatang Jalang' dan Juga Pelopor Angkatan 45 /Haloyouth/Yaya Suryana Spd/

HALOYOUTH - Chairil Anwar adalah seorang penyair yang dijuluki sebagai "Binatang Jalang" Ia merupakan penyair yang tidak dapat dilepaskan dari puisi Indonesia modern.

Chairil Anwar bersama dengan Asrul Sani dan Rivai Avin dinobatkan sebagai Pelopor Angkatan 45 dalam Sastra Indonesia oleh HB Jassin.

Chairil Anwar lahir pada tanggal 22 Juli 1922 di Medan, Sumatra Utara. dan meninggal pada pada tanggal 28 April 1949 Ia hidup tidak begitu lama hanya 27 tahun.

Hidup yang singkat, meninggal di usia muda diakibatkan mengidap sejumlah penyakit,ia tetap memiliki mimpi dan keinginan untuk tetap bisa hidup seribu tahun lagi.

Baca Juga: Contoh Puisi Hari Guru Nasional, Buat Hati Tersentuh dan Bermakna, Cek di Sini

Keinginanya itu dirinya wujudkan melalui karya-karyanya yang tetap abadi hingga sekarang dan selamanya, hingga para penyair dan sastrawan tetap mengingat hari kematianya sebagai Hari Chairil Anwar.

Disamping itu meski Chairil Anwar telah lama berpulang, Juni 2007 ia masih dianugerahi penghargaan Dewan Kesenian Bogor (DKB) Award 2007 untuk kategori seniman sastra, penghargaan itu telah diterima oleh puterinya, Evawani Elissa Chairil Anwar.

Sejak kemuncukan, Karya-karya Chairil Anwar begitu berpengaruh pada perkembangan puisi kontemporer di Indonesia.

Berikut adalah 10 karya puisi Chairil Anwar : 

1. Aku 

Aku

Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak peduli

Aku mau hidup seribu tahun  lagi

Maret 1943

Baca Juga: Puisi-puisi WS Rendra yang Menjalar ke Benak Pembaca

2. Krawang-Bekasi

Krawang-Bekasi

Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.

Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan berdegap hati?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.

Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu

Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan atau tidak untuk apa-apa,

Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi

Baca Juga: Puisi-puisi Sapardi Djoko yang Tumbuh Subur di Pikiran Pembaca

3. Senja di Pelabuhan Kecil

Senja di Pelabuhan Kecil

Kepada Sri Ajati

Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut

Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.

Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempar, sedu penghabisan bisa terdekap

Baca Juga: Kisah Haru! Anak Peluk Ibu saat Peristiwa Erupsi Gunung Semeru

4. Cintaku Jauh di Pulau

Cintaku Jauh di Pulau

Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri

Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.
angin membantu, laut tenang, tapi terasa
aku tidak akan sampai padanya.

Di air yang tenang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
“Tujukan perahu ke pangkuanku saja.”

Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!
Perahu yang bersama kan merapuh!
Mengapa ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!

Manisku jauh di pulau,
kalau kumati, dia mati iseng sendiri.

Baca Juga: Hari Penyandang Disabilitas Internasional: Mengenal Sosok Berprestasi dari Hafiz Quran Hingga Staf Presiden

5. Cinta dan Benci

Cinta dan Benci

Aku tidak pernah mengerti
Banyak orang menghembuskan cinta dan benci
Dalam satu napas

Tapi sekarang aku tahu
Bahwa cinta dan benci adalah saudara
Yang membodohi kita, memisahkan kita

Sekarang aku tahu bahwa
Cinta harus siap merasakan sakit
Cinta harus siap untuk kehilangan
Cinta harus siap untuk terluka
Cinta harus siap untuk membenci

Karena itu hanya cinta yang sungguh-sungguh mengizinkan kita
Untuk mengatur semua emosi dalam perasaan

Setiap emosi jatuh… Keluarlah cinta

Sekarang aku mengetahui implikasi dari cinta
Cinta tidak berasal dari hati
Tapi cinta berasal dari jiwa
Dari zat dasar manusia

Ya, aku senang telah mencintai
Karena dengan melakukan itu aku merasa hidup
Dan tidak ada orang yang dapat merebutnya dariku

Baca Juga: Peringati Hari Dongeng Indonesia, Yuk Nostalgia Dongeng di Masa Kecil!

6. Sajak Putih

Sajak Putih

Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda
Sepi menyanyi

Malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku

Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita mati datang tidak membelah

7. Yang Terampas dan Yang Terputus

Yang Terampas dan Yang Terputus

kelam dan angin lalu mempesiang diriku,
menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu

di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin

aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang

tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku

Baca Juga: Contoh Puisi Hari Guru Nasional, Buat Hati Tersentuh dan Bermakna, Cek di Sini

8. Hampa

Hampa

Kepada sri

Sepi di luar. Sepi menekan mendesak.
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak. Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti.

Sepi.

Tambah ini menanti jadi mencekik…
Memberat-mencekung punda…
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan menanti.

Baca Juga: Sinopsis Novel Rindu Karya Tere Liye, Mengungkap Kisah Cinta Sejati dalam Perjalanan Ibadah Haji

9. Sebuah Kamar

Sebuah Kamar

Sebuah jendela menyerahkan kamar ini
pada dunia. Bulan yang menyinar ke dalam
mau lebih banyak tahu.
“Sudah lima anak bernyawa di sini,
Aku salah satunya!”

Ibuku tertidur dalam tersendu,
Keramaian penjara sepi selalu,
Bapakku sendiri terbaring jemu
Matanya menatap orang tersalib di batu!

Sekeliling dunia bunuh diri!
Aku minta adik lagi pada
Ibu dan bapakku, karena mereka berada
di luar hitungan: Kamar begini,
3 x 4 m, terlalu sempit buat meniup nyawa!

Baca Juga: Sosok Bung Tomo Berperan Dalam Pertempuran Surabaya 10 November 1945, Begini Isi Pidatonya

10. Selamat Tinggal 

Selamat Tinggal

Ini muka penuh luka
Siapa punya?

Kudengar seru menderu
Dalam hatiku
Apa hanya angin lalu?

Lagi lain pula
Menggelepar tengah malam buta

Ah..!!!

Segala menebal, segala mengental
Segala tak kukenal..!!!
Selamat tinggal…!!.***

Editor: Adi Riyadi

Tags

Terkini

Terpopuler