Sarah Records, Refleksi Asa Menentang Kapitalisme melalui Musik

18 Juli 2020, 20:52 WIB
Sarah Records. *Fadeawayradiate /*Fadeawayradiate/

HALOYOUTH - Bagi sebagian orang, musik adalah suatu sarana untuk melepas kejenuhan. Tak aneh jika banyak orang begitu addict pada musik, seolah tidak bisa melepaskan diri satu sama lain.

Namun disamping itu, musik membangkitkan gairah, membakar semangat perubahan, bahkan perlawanan.

Semangat perlawanan itulah yang menjadi cikal bakal terbentuknya Sarah Records, sebuah label rekaman indie yang lahir di Bristol, Inggris pada tahun 1987 silam.

Sarah dikenal dengan semangat menentang praktik kapitalisme di ranah musik Inggris pada saat itu, ditambah ide-ide feminisme yang begitu kental dengan terbentuknya label rekaman ini.

Hal tersebut dibenarkan oleh Matt Haynes, selaku pendiri Sarah Records. Ia mengatakan bahwa awal mula Sarah dibentuk sebagai respons terhadap perkembangan skena indie pop di Inggris yang terkesan ‘macho’ dan penuh maskulinitas. 

Baca Juga: Britpop; Bermula dari Genre Musik Menjadi Kultur Britania Raya

Matt mengatakan, ide feminisme dalam Sarah Records bisa dilihat dari namanya. Nama Sarah diambil karena identik dengan nama perempuan dan terkesan tidak maskulin.

Matt dalam “Bliss Aquamarinezine” pernah mengatakan, “The whole record industry is still relentlessy male”.

Ia merasa pesan dan sikap politik diperlukan dalam perjalanan sebuah label rekaman indie, dan feminisme merupakan salah satu bentuk dari pesan dan sikap politik yang dimaksud.

Dalam mewujudkan sikapnya itu, Sarah tidak pernah menampilkan foto perempuan dalam sampul rekaman setiap rilisannya.

Hal itu merupakan salah satu bentuk kritik terhadap banyaknya band atau label musik yang menggunakan perempuan hanya sebagai objek dalam memenuhi hasrat bisnis mereka.

Sarah juga memilih sosialisme sebagai bentuk kritik terhadap label-label indie lain yang condong kapitalis.

Mereka membagikan pemahamannya tentang sosialisme dalam bermusik lewat fanzine yang rutin diterbitkan bersama rilisan-rilisan musik.

Baca Juga: Alasan Kartun ‘Rick and Morty’ Digilai Milenial Berbagai Belahan Dunia

Matt dan Clare, selaku pendiri Sarah Records beranggapan bahwa musuh mereka bukanlah band dan label yang besar, justru musuh mereka adalah band dan label kecil yang berlagak seolah besar.

The vinyl factory.com dalam artikelnya yang berjudul “Socialist 7″s and pull-out politics: UK DIY label Sarah Records in their own words” mengatakan, bahwa sikap sosialisme Sarah terlihat dari kontradiktif perilisan vinyl.

Sarah merilis vinyl format 7 inch di saat hampir seluruh major label merilis format 12 inch. Bagi Matt, maksud dan tujuan perilisan format 7 inch itu merupakan sebuah bentuk perlawanan proletar terhadap format 12 inch dan Compact Disk (CD) yang dianggap borjuis.

Selain dengan perilisan vinyl format 7 inch yang kontroversial itu, idealisme dari Sarah Records dapat dilihat lewat eksklusivitas rilisan-rilisannya.

Ketika label musik lain merilis sebanyak-banyaknya, Sarah justru merilis semau mereka. Sarah merilis apa pun sesuka hatinya, laku atau tidak bukanlah pertimbangan utama.

Hal yang mereka lakukan ini merupakan wujud kritik atau sindiran terhadap label-label major, terutama label-label indie lain yang justru terkesan kapitalis dengan lebih mementingkan kuantitas dari pada kualitas.

Baca Juga: Berikut 4 Cara Memanfaatkan Waktu Luang di Masa Pandemi

Tak berhenti sampai di situ saja, image Sarah sebagai label musik indie yang idealis dan kontroversional juga terlihat dari keputusan mereka untuk berhenti tepat pada rilisannya yang ke-100.

Keputusan mengejutkannya itu tentu membuat publik heran dan banyak yang beranggapan bahwa Sarah sebenarnya bangkrut, lalu membuat skenario untuk “mati” di rilisannya yang ke-100.

Namun hal tersebut dibantah oleh Matt, dikutip dari buku “Bandung Pop Darlings”, bahwasanya jika Sarah bangkrut, mereka tidak akan mungkin mampu membayar total biaya sebesar 5000 pounds untuk memasang manifesto di media musik yang berjudul “A Day for Destroying Things”.

Bahkan, agar perayaan “kematian” mereka semakin afdol, mereka menggelar sebuah pesta pembubaran di Bristol.

Namun bukan Sarah namanya jika tidak ada maksud dan tujuan dibalik kelakuannya yang kontroversial.

Maksud dan tujuan Sarah membubarkan diri dan berhenti dari dunia musik, tidak lain sebagai upaya mengkritik serta menyindir label-label rekaman lain.

Hal ini juga menunjukkan konsistensi mereka dalam menentang praktik kapitalisme dalam tubuh sebuah label musik indie di Inggris.

Mereka merasa label lain terlalu naïf untuk menentukan pilihan, sebelum akhirnya juga sama-sama mati dan hilang tanpa jejak karena kalah saing dengan label rekaman besar.

Keputusan Sarah untuk “mati” pun merupakan salah satu keputusan yang visioner, sebelum praktik kapitalisme semakin menjajahi industri musik Britania Raya, dan label-label kecil seperti mereka akhirnya mati diterjang ombak kapitalisme yang begitu ganas.

Sarah memilih mati dengan cara yang lebih suci ketimbang harus bersentuhan dengan kapitalisme.

Baca Juga: Ingin Bisa Berkendara Kemana Saja, Lirik Mobil-Mobil Tangguh Ini

Eksklusivitas rilisan dari Sarah Records seharusnya membuat label tersebut tidak memiliki nama sebesar ini.

Dalam sebuah interview dengan Dimas Ario, Matt pun mengaku heran karena semua rilisan Sarah sebenarnya tidak diedarkan di negara lain selain Inggris.

Adapun negara lain yang pernah melakukan distribusi seperti Prancis, Jepang, dan Amerika, tapi hanya untuk beberapa rilisan saja dan dalam jumlah yang sedikit.

Idealisme dan eksklusivitas itulah yang justru melejitkan nama Sarah Records. Faktanya, bagi para penikmat indie pop, rilisan Sarah sudah bagaikan kitab suci tersendiri.

Bahkan, di Indonesia pernah ada sebuah acara tribute untuk Sarah Records yang bertajuk “We Love Sarah”, sebagai salah satu bentuk kecintaan mereka terhadap label musik ‘bandel’ tersebut.

Kisah dari Sarah Records pun akhirnya didokumentasikan dalam sebuah buku berjudul “Popkiss”, dan film berjudul “Between Hello & Goodbye: the Secret World of Sarah Records”.

Mengutip manifesto berjudul “A Day for Destroying Things” yang mengatakan “The first act of revolution is destruction and the first thing to destroy is the past. Scary. Like falling in love. It reminds us we’re alive”.

Baca Juga: Fakta atau Hoaks: Palestina Dihapus dari Google Maps dan Apple Maps?

Sarah Records dengan segala kontroversinya telah mengajarkan kita arti dari sebuah idealisme dan konsistensi dalam bersikap.

Lebih jauh lagi, ia mengajarkan bahwa musik bukan hanya untuk didengarkan, tapi untuk dinikmati, juga dihidupi. We love you, Sarah!. ***

Editor: Alvin Aditya Saputra

Tags

Terkini

Terpopuler