Kisah Kontroversi dan Dugaan Kesesatan Sosok Syekh Siti Jenar, Kematiannya Diduga Ditutup-tutupi Kesultanan

- 30 Januari 2024, 13:30 WIB
Misteri Kematian Syekh Siti Jenar, Dihukum Mati dengan Keris Kentha Naga Milik Sunan Gunung Jati, Benarkah?
Misteri Kematian Syekh Siti Jenar, Dihukum Mati dengan Keris Kentha Naga Milik Sunan Gunung Jati, Benarkah? /SS YouTube Barley Prayudhya

HALOYOUTH - Sosok Syekh Siti Jenar seolah tak ada habis-habisnya untuk diperbincangkan meski rentang waktu antar ia hidup dengan masa sekarang sudah semakin jauh.

Yang membuat sosok ini tidak ada habisnya diperbincangkan adalah karena Syekh Siti Jenar hidupnya dipenuhi banyak sekali kontroversi, baik mengenai keberadaan, ajaran maupun kematiannya.

Dalam ulasan ini pribadi merasa perlu berpartisipasi untuk juga membahas tokoh Syekh Siti Jenar dengan sudut pandang dan rujukan yang paling tidak umum, meskipun pembahasannya hanya terbatas pada point-point tertentu saja, yakni kontroversi kematian dan sedikit ajarannya.

Dianggap perlu lantaran kontroversi yang menyelimutinya kian tertutup kabut tebal.

Baca Juga: Niat Sholat Tarawih dan Witir, Lengkap dengan Bacaan Doa Kamilin Beserta Artinya

Namun demikian, bukan maksud pula ulasan ini dibuat untuk menjadi penerang diantara kabut tebal yang menyelimuti keberadaan Syekh Siti Jenar.

Ulasan ini akan dimulai dari sebuah pertanyaan, benarkah Syekh Siti Jenar mati dalam keadaan tidak terhotmat karena diadili para wali? Bagaimanakah ajaran yang dibawa Syekh Siti Jenar, benarkah menyesatkan?

Kontroversi dan Penyelewengan Ajaran

Menukil buku yang dikarang Agus Sunyoto berjudul Suluk Malang Sungsang Konflik dan Penyimpangan Ajaran Syekh Siti Jenar Buku 6-7 dikemukakan, sekembalinya melakukan Suluk (Perjalanan Ruhani), Syeh Siti Jenar berniat mendirikan masyarakat ummah yang demokratis dan egaliter.

Tentu keinginannya datang bukan sebagai angin lalu yang tidak berpijak pada keadaan sosial masa itu.

Dan yang paling penting, keinginannya tersebut merukan sebuah refleksi lama yang dilihatnya dari keadaan keadaan objektif yang pada gilirannya melahirkan kesadaran baru didalam pikirannya.

Baca Juga: Salah Kaprah Mengartikan Imsak, Simak Ternyata Begini Penjelasannya Muslim Harus Tahu!

Bisa dibilang, masyarakat ummah yang demokratis yang dia ingin dirikan tersebut merupakan manifestasi dari keadaan yang dilihat dan dirasakannya langsung yang makin lama makin terakumulasi menjadi antitesa yang paling kontradiktif dimasa yang tidak seharusnya.

Wajar belaka, Syekh Siti Jenar ini banyak dibilang orang sebagai manusia yang kesadarannya melampaui manusia kebanyakan.

Untuk memulai misinya, dengan diperbantukan Raden Walangsungsang (Sri Mangana atau Ki Samadullah) yang dipertuan Caruban Larang, Syekh Siti Jenar mulai membuka Padukuhan-padukuhan baru yang kelak diberi nama Padukuhan Lemah Abang, Padukuhan Lemah Putih, Padukuhan Lemah Kuning, Padukuhan Lemah Ireng sebagai antitesa dari sistem masyarakat Feodal zaman itu dimana konsep masyarakat Ummah ini sangat demokratis dan untuk manusia yang menempatinya memiliki kedudukan yang setara terhadap manusia yang lain.

Sejak gagasannya mulai dijalankan, Syeh Siti Jenar banyak ditentang banyak orang, apalagi kaum bangsawan Jawa.

Namun begitu, gagasan ini disambut antusias oleh rakyat jelata, kaula alit dan kelas masyarakat lain yang selama ini menjadi sasaran langsung penindasan dan penghisapan kaum Feodal.

Hingga gagasannya diperluas ke negeri Majapahit yang mulai keropos di makan usia, pertentangan makin menajam dengan kekuasaan meski masa itu Islam telah menjadi kekuatan yang besar di Jawa, dibawah pengaruh Tranggana di Demak.

Di masa berkuasanya Tranggana yang picik itu, semua kekuatan-kekuatan di arus bawah ia konsolidasikan untuk memperkokoh kedudukannya sebagai penguasa tunggal sepeninggal Patih Unus.

Kekuatan apalagi yang dimaksud kalau bukan kekuatan Islam yang didalamnya termasuk para Walisongo.

Dibahwah kuasa Tranggana pula, kekuatan-kekuatan yang terkonsolidasi ini kemudian melakukan pemurnian ajaran Islam sesuai dengan kehendak penguasa yang pada gilirannya berimbas pada ajaran Syeh Siti Jenar yang diakui atau tidak membahayakan kedudukan Tranggana, bukan terhadap Islam itu sendiri.

Sehingga padukuhan-padukuhan Syeh Siti Jenar yang merusak tatanan lama itu terus menerus jadi buruan kaum bangsawan dengan begundal-begundalnya dari kelompok Islam yang akidahnya telah rusak disusupi kekuasaan duniawi.

Tidak jarang dalam penertiban terhadap padukuhan-padukuhan yang didirikan Syeh Siti Jenar dilakukan dengan cara-cara keji dan biadab sehingga menimbulkan rasa simpati dari banyak penduduk di Nusa Jawa.

Dan atas perlakuan yang biadab dari kekuasaan yang telah mengonsolidasikan ulama itu dalam menghancurkan padukuhan pada gilirannya membuat penduduk Nusa Jawa membenci mereka.

Bahkan, di setiap ada orang yang mengenakan pakaian jubah selalu dicurigai oleh penduduk dan mereka berbondong-bondong menghindarinya disetiap mereka melintas di pemukiman.

Melihat penghancuran demi penghancuran yang dilakukan manusia keji dibawah kuasa Tranggana, Syeh Siti Jenar, yang di masa itu sudah selesai mengemban tugas dan telah menjadi manusia yang al-fard (yang tersendiri dan tunggal) tidak banyak berbuat sesuatu apapun kecuali diam, diam dan diam.

Pemburuan dan pembasmian terhadap pedukuhan dan orang-orang yang dianggap sebagai murid Syeh Siti Jenar terus berlanjut hingga pada akhirnya banyak dari mereka berpencar dan menyelematkan diri ke berbagai tempat.

Selain itu, di dalam kelompok mereka sendiri mengalami perpecahan sepeninggal Syeh Siti Jenar menjadi beberapa kelompok. Hal tersebut berdasarkan pengakuan murid Syeh Siti Jenar, Ki Saridin kepada Raden Syahid

Mereka terpecah menjadi tiga kelompok yang saling bersaing.

Kelompok pertama memilih pemimpin sendiri untuk melanjutkan ajaran tarekat yang diwariskan kangjeng syaikh.

Kelompok kedua, dua tiga orang warga di sejumlah dukuh secara sepihak mengajarkan ajaran batiniah yang dinisbatkan kepada kangjeng syaikh dengan alasan mereka mendapat wangsit langsung dari Allah untuk meneruskan tugas sang guru, membimbing manusia menuju Kebenaran Sejati.

Yang terakhir, beberapa orang warga desa di sekitar dukuh mengajarkan ajaran batiniah yang juga dinisbatkan kepada kangjeng syaikh dengan alasan telah ditemui sendiri oleh arwah Syaikh Lemah Abang.

"Mereka mengaku ditugasi kangjeng syaikh untuk meneruskan ajarannya. Sungguh, tiga kelompok orang ini sangat membahayakan ajaran kangjeng syaikh, karena setahu kami mereka itu kurang memahami ajaran kangjeng syaikh secara benar dan sangat sedikit memahami ilmu-ilmu Keislaman," ujar Ki Saridin, seperti diulas dalam sumber yang sama.

Selain daripada itu, tengara bakal adanya perusak kemurnian ajaran Syeh Siti Jenar yang pernah ia tangkap melalui al-imma saat dirinya masih melakukan perjalanan Suluk sudah semakin tampak di permukaan.

Hal itu terlihat saat kenyataan menunjukkan, ada banyak padukuhan-padukuhan baru yang didirikan oleh orang-orang yang mengaku sebagai Syeh Lemah Abang.

Tersebutlah dari padukuhan-padukuhan palsu ini nama tokoh Hasan Ali dan Gurunya bernama San Ali Anshar yang mengaku-aku sebagai Syeh Siti Jenar.

Hasan Ali semula bernama Raden Anggaraksa, putera Rsi Bungsu dan cucu dari Prabu Surawisesa, Yang Dipertuan Galuh Pakuan.

Sementara San Ali Anshar adalah guru ruhani Hasan Ali. Sebagaimana Hasan Ali, San Ali Anshar mendirikan dukuh-dukuh Siti Jenar, Kajenar, dan Kamuning tidak jauh dari dukuh-dukuh yang pernah didirikan oleh Syaikh Datuk Abdul Jalil.

Di dukuh-dukuh itulah dia mengajarkan tarekat ganjil yang campur aduk dengan ilmu ketabiban, ilmu sihir, dan ilmu kanuragan. Dia bernama lengkap San Ali Anshar al-Isfahany, pengkhianat tengik yang menjadi penyebab kehancuran keluarga istri Syeh Siti Jenar.

Jadi sebenarnya yang kelak dibunuh oleh Syarif Hidayatullah dan Raden Sahid atau Sunan Kalijaga itu sesungguhnya bukanlah Syeh Siti Jenar. Namun dua tokoh yang disebut diatas.

Kontroversi Kematian Syekh Siti Jenar

Sementara issu tentang Syeh Siti Jenar mayatnya menjadi bangkai Anjing adalah rekayasa alim ulama jahat abdi Tranggana.

Mereka mengabsahkan titah pelarangan ajaran Syaikh Siti Jenar oleh Sultan Demak melalui cerita-cerita yang membodohkan manusia.

Untuk mengabsahkan pelarangan itu, mereka menebar cerita bohong bahwa yang membunuh Syaikh Lemah Abang adalah Majelis Wali Songo.

Padahal, yang membunuh San Ali Anshar di Pamantingan adalah Raden Sahid. Lalu, yang membunuh Hasan Ali di Kanggaraksan Caruban adalah Syarif Hidayatullah dengan keris Kanta Naga.

Jadi, Majelis Wali Songo tidak pernah bersidang di Masjid Agung Demak untuk mengadili Hasan Ali maupun San Ali Anshar.

Itu semua kabar bohong yang dibikin alim ulama Tranggana. Tetapi biar saja begitu, karena dengan cerita-cerita itu keberadaan Syaikh Lemah Abang, Syaikh Siti Jenar, Syaikh Sitibrit, Syaikh Jabarantas, Susuhunan Binang, Pangeran Kajenar, benar benar telah jatuh sebagai tanah yang diinjak-injak dan direndahkan manusia sesuai kehendak dan keinginan Syaikh Datuk Abdul Jalil.

Disclaimer: Tulisan ini merupakan sebuah ulasan dari buku Trilogi Novel Sejarah karangan Agus Sunyoto Berjudul 'Suluk Malang Sungsang Konfik dan Penyimpangan Ajaran Syekh Siti Jenar' Buku 6-7.***

Editor: Adi Riyadi

Sumber: Beragam Sumber


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah