HALOYOUTH - Manusia adalah mahluk yang tidak sempurna, baik sempurna dalam keburukan ataupun total dalam kebaikan.
Maka termasuk tanda kedewasaan berpikir seseorang adalah mampu memilah dan memilih ilmu dari siapapun dan mampu mengambil kebaikan darinya.
Maka tidak benar jika kaku dan tertutup dalam mencari ilmu dan hanya menerima dari guru yang dianggap baik saja.
Baca Juga: Perbedaan Cara Bertawassul Sesuai Sunnah dan Bertawassul yang Diharamkan Agama
Mempelajari kitab yang bermanfaat dari ulama yang berbeda mazhab dalam akidah sekalipun bukanlah hal yang baru. Ilmunya dalam masalah tertentu diambil, namun akidahnya tetap divonis bidah, sesat, atau bahkan kafir.
Ibnu Rusyd misalnya, akidahnya bercampur dengan akidah para filusuf dan dia dianggap sesat, baik oleh Salafi maupun Asy'ari sekalipun. Karena pemikiran sesatnya dalam masalah filsafat inilah hidup beliau dikucilkan oleh kaum muslimin, sedang di Barat beliau malah dianggap sebagai bapak sekularisme. Terlepas dari hal itu, kitab-kitabnya dalam ilmu fikih seperti Bidayatul Mujtahid tetap diambil manfaatnya dan dipelajari.
Demikian pula dengan ulama Mu'tazilah, Abul Hussain al-Bashri. Akidahnya tetap dianggap sesat dan bahkan dia divonis kafir, namun kitabnya dalam ilmu usul fikih tetap diambil manfaatnya dan dipelajari.
Baca Juga: Kewajiban Seorang Mukmin Kepada Agama dan Berlepas Diri dari Kesyirikan
Yang lebih ekstrem lagi, Fu'ad Ni'mah. Ia sejak awal adalah orang kafir asli, maka tidak ada perdebatan di antara ahli kiblat akan kafirnya ia. Namun meski demikian, kitabnya tentang bahasa Arab tetap diambil.