HALOYOUTH - Stigma masyarakat terhadap anak dari seorang terorisme harus dihukum menjadi salah satu kendala pemerintah dalam upaya memulihkan mereka agar tidak terpapar dari radikalisme.
Hal tersebut diungkapkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) dalam sebuah acara bincang-bincang mengenai anak korban jaringan terorisme.
"Masyarakat masih melihat anak-anak ini adalah pelaku yang harus dibinasakan, bukan dibina karena (masyarakat menganggap, red.) mereka calon teroris," kata Elvi Hendrani, Asisten Deputi Perlindungan Anak Kondisi Khusus Kemen PPPA di Jakarta, Jumat, 16 April 2021 seperti dikutip HALOYOUTH dari Antara.
Elvi menambahkan, pada dasarnya anak-anak tersebut hanyalah korban dari pola asuh orang tua yang salah.
Masyarakat, katanya, juga cenderung enggan menerima kembali anak-anak tersebut di kampung atau desa mereka.
"Stigma karena pelabelan dari orang tuanya. Anak jadi tidak diterima lagi oleh keluarganya, oleh kampungnya," tutur dia.
Atas pertimbangan itu, pemerintah kemudian mengganti identitas sejumlah anak korban jaringan terorisme agar mereka bisa hidup normal di masyarakat setelah dibina melalui program deradikalisasi.
Kemen PPPA juga bersedia membantu Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri untuk merehabilitasi 101 anak yang orang tuanya tempo lalu terlibat kasus teror bom bunuh diri di Katedral Hati Yesus Yang Maha Kudus Makassar, Sulawesi Selatan.