Puisi-puisi WS Rendra yang Menjalar ke Benak Pembaca

28 Juli 2020, 15:10 WIB
WS Rendra. *Galamedianews /Galamedianews/

HALOYOUTH – Wilibrordus Surendra Broto atau dikenal dengan panggilan WS Rendra adalah salah satu sosok sastrawan garang yang menularkan banyak karyanya di bidang penulisan.

Ia lahir di Solo, 7 November 1935 dan tutup usia pada 6 Agustus 2009.

Rendra memiliki julukan Si Burung Merak, julukan ini dia dapatkan ketika kawannya dari Australia mengunjungi Kebun Binatang Gembiraloka di Yogyakarta untuk berekreasi.

Ketika berada di kandang buruk merak, Rendra dengan spontan berkata “Seperti itulah saya”. Si Burung Merak sempat menyatakan bahwa, berkarya adalah ibadah.

Rendra melahirkan puisi-puisi yang membawa tema beraneka ragam, dalam artikel ini Halo Youth akan menampilkan karya-karya WS Rendra yang menakjubkan dan patut Anda baca.

Baca Juga: Puisi-puisi Sapardi Djoko yang Tumbuh Subur di Pikiran Pembaca

1. Doa Seorang Serdadu Sebelum Perang

Waktu itu, Tuhanku,

Perkenankan aku membunuh

Perkenankan aku menusukkan sangkurku

Malam dan wajahku

Adalah satu warna

Dosa dan nafasku adalah satu udara.

Tak ada lagi pilihan

Kecuali menyadari

Biarpun bersama penyesalan

Apa yang bisa diucapkan

Oleh bibirku yang terjajajh?

2. Permintaan

Wahai, rembulan yang pudar

Jenguklah jendela kekasihku!

Ia tidur sendirian,

Hanya bertemu hatinya yang rindu

3. Sajak Anak Muda

Kita adalah angkatan gagap

Yang diperanakkan oleh angkatan takabur.

Kita kurang pendidikan resmi

Di dalam hal keadilan,

Karena tidak diajarkan berpolitik,

Dan tidak diajar dasar ilmu hukum.

Kita melihat kabur pribadi orang,

Karena tidak diajarkan kebatinan atau ilmu jiwa

Kenyataan di dunia menjadi remang-remang.

Gejala-gejala yang muncul lalu lalang

Tidak bisa kita hubung-hubungkan.

Kita marah pada diri sendiri.

Kita sebal terhadap masa depan.

Lalu akhirnya

Menikmati masa bodoh dan santai

Di dalam kegagapan

Kita hanya bisa membeli dan memakai

Tanpa bisa mencipta.

Kita tidak bisa memimpin

Tetapi hanya bisa berkuasa

Persis seperti bapak-bapak kita.

Baca Juga: Penyair Sapardi Djoko Damono Tutup Usia

4. Sajak Pertemuan Mahasiswa

Matahari terbit pagi ini

Mencium bau kencing orok di kaki langit

Melihat kali coklat menjalar ke lautan

Dan mendengar dengung di dalam hutan

Lalu kini ia dua penggalah tingginya

Dan ia menjadi saksi kita berkumpul disini memeriksa keadaan

Kita bertanya :

Kenapa maksud baik tidak selalu berguna

Kenapa maksud baik dan maksud baik bisa berlaga

Orang berkata : kami ada maksud baik

Dan kita bertanya : maksud baik untuk siapa ?

Ya !

Ada yang jaya, ada yang terhina

Ada yang bersenjata, ada yang terluka

Ada yang duduk, ada yang diduduki

Ada yang berlimpah, ada yang terkuras

Dan kita disini bertanya :

Maksud baik saudara untuk siapa ?

Saudara berdiri di pihak yang mana ?

Kenapa maksud baik dilakukan

Tetapi makin banyak petani kehilangan tanahnya

Tanah tanah di gunung telah dimiliki orang orang kota perkebunan yang luas

Hanya menguntungkan segolongan kecil saja

Alat alat kemajuan yang diimpor

Tidak cocok untuk petani yang sempit tanahnya

Tentu, kita bertanya :

Lantas maksud baik saudara untuk siapa ?

Sekarang matahari semakin tinggi

Lalu akan bertahta juga di atas puncak kepala

Dan di dalam udara yang panas kita juga bertanya :

Kita ini dididik untuk memihak yang mana ?

Ilmu ilmu diajarkan disini

Akan menjadi alat pembebasan

Ataukah alat penindasan ?

Sebentar lagi matahari akan tenggelam

Malam akan tiba

Cicak cicak berbunyi di tembok

Dan rembulan berlayar

Tetapi pertanyaan kita tidak akan mereda

Akan hidup di dalam mimpi

Akan tumbuh di kebon belakang

Dan esok hari

Matahari akan terbit kembali

Sementara hari baru menjelma

Pertanyaan pertanyaan kita menjadi hutan

Atau masuk ke sungai

Menjadi ombak di samodra

Di bawah matahari ini kita bertanya :

Ada yang menangis, ada yang mendera

Ada yang habis, ada yang mengikis

Dan maksud baik kita

Berdiri di pihak yang mana !

5. Rumpun Alang-alang

Engkaulah perempuan terkasih, yang sejenak kulupakan, sayang

Karena dalam sepi yang jahat tumbuh alang-alang di hatiku yang malang

Di hatiku alang-alang menancapkan akar-akarnya yang gatal

Serumpun alang-alang gelap, lembut dan nakal

Gelap dan bergoyang ia

Dan ia pun berbunga dosa

Engkau tetap yang punya

Tapi alang-alang tumbuh di dada.

Baca Juga: Yang Fana Adalah Waktu, Karya Sapardi Abadi

6. Hai, Kamu!

Luka-luka di dalam lembaga,

Intaian keangkuhan kekerdilan jiwa,

Noda di dalam pergaulan antar manusia,

Duduk di dalam kemacetan angan-angan.

Aku berontak dengan memandang cakrawala.

Jari-jari waktu menggamitku.

Aku menyimak kepada arus kali.

Lagu margasatwa agak mereda.

Indahnya ketenangan turun ke hatiku.

Lepas sudah himpitan-himpitan yang mengekangku. ***

Editor: Alvin Aditya Saputra

Tags

Terkini

Terpopuler