HALOYOUTH – Wilibrordus Surendra Broto atau dikenal dengan panggilan WS Rendra adalah salah satu sosok sastrawan garang yang menularkan banyak karyanya di bidang penulisan.
Ia lahir di Solo, 7 November 1935 dan tutup usia pada 6 Agustus 2009.
Rendra memiliki julukan Si Burung Merak, julukan ini dia dapatkan ketika kawannya dari Australia mengunjungi Kebun Binatang Gembiraloka di Yogyakarta untuk berekreasi.
Ketika berada di kandang buruk merak, Rendra dengan spontan berkata “Seperti itulah saya”. Si Burung Merak sempat menyatakan bahwa, berkarya adalah ibadah.
Rendra melahirkan puisi-puisi yang membawa tema beraneka ragam, dalam artikel ini Halo Youth akan menampilkan karya-karya WS Rendra yang menakjubkan dan patut Anda baca.
Baca Juga: Puisi-puisi Sapardi Djoko yang Tumbuh Subur di Pikiran Pembaca
1. Doa Seorang Serdadu Sebelum Perang
Waktu itu, Tuhanku,
Perkenankan aku membunuh
Perkenankan aku menusukkan sangkurku
Malam dan wajahku
Adalah satu warna
Dosa dan nafasku adalah satu udara.
Tak ada lagi pilihan
Kecuali menyadari
Biarpun bersama penyesalan
Apa yang bisa diucapkan
Oleh bibirku yang terjajajh?
2. Permintaan
Wahai, rembulan yang pudar
Jenguklah jendela kekasihku!
Ia tidur sendirian,
Hanya bertemu hatinya yang rindu
3. Sajak Anak Muda
Kita adalah angkatan gagap
Yang diperanakkan oleh angkatan takabur.
Kita kurang pendidikan resmi
Di dalam hal keadilan,
Karena tidak diajarkan berpolitik,
Dan tidak diajar dasar ilmu hukum.
Kita melihat kabur pribadi orang,
Karena tidak diajarkan kebatinan atau ilmu jiwa
Kenyataan di dunia menjadi remang-remang.
Gejala-gejala yang muncul lalu lalang
Tidak bisa kita hubung-hubungkan.
Kita marah pada diri sendiri.
Kita sebal terhadap masa depan.
Lalu akhirnya
Menikmati masa bodoh dan santai
Di dalam kegagapan
Kita hanya bisa membeli dan memakai
Tanpa bisa mencipta.
Kita tidak bisa memimpin
Tetapi hanya bisa berkuasa
Persis seperti bapak-bapak kita.
Baca Juga: Penyair Sapardi Djoko Damono Tutup Usia
4. Sajak Pertemuan Mahasiswa
Matahari terbit pagi ini
Mencium bau kencing orok di kaki langit
Melihat kali coklat menjalar ke lautan
Dan mendengar dengung di dalam hutan
Lalu kini ia dua penggalah tingginya
Dan ia menjadi saksi kita berkumpul disini memeriksa keadaan
Kita bertanya :
Kenapa maksud baik tidak selalu berguna
Kenapa maksud baik dan maksud baik bisa berlaga
Orang berkata : kami ada maksud baik
Dan kita bertanya : maksud baik untuk siapa ?
Ya !
Ada yang jaya, ada yang terhina
Ada yang bersenjata, ada yang terluka
Ada yang duduk, ada yang diduduki
Ada yang berlimpah, ada yang terkuras
Dan kita disini bertanya :
Maksud baik saudara untuk siapa ?
Saudara berdiri di pihak yang mana ?
Kenapa maksud baik dilakukan
Tetapi makin banyak petani kehilangan tanahnya
Tanah tanah di gunung telah dimiliki orang orang kota perkebunan yang luas
Hanya menguntungkan segolongan kecil saja
Alat alat kemajuan yang diimpor
Tidak cocok untuk petani yang sempit tanahnya
Tentu, kita bertanya :
Lantas maksud baik saudara untuk siapa ?
Sekarang matahari semakin tinggi
Lalu akan bertahta juga di atas puncak kepala
Dan di dalam udara yang panas kita juga bertanya :
Kita ini dididik untuk memihak yang mana ?
Ilmu ilmu diajarkan disini
Akan menjadi alat pembebasan
Ataukah alat penindasan ?
Sebentar lagi matahari akan tenggelam
Malam akan tiba
Cicak cicak berbunyi di tembok
Dan rembulan berlayar
Tetapi pertanyaan kita tidak akan mereda
Akan hidup di dalam mimpi
Akan tumbuh di kebon belakang
Dan esok hari
Matahari akan terbit kembali
Sementara hari baru menjelma
Pertanyaan pertanyaan kita menjadi hutan
Atau masuk ke sungai
Menjadi ombak di samodra
Di bawah matahari ini kita bertanya :
Ada yang menangis, ada yang mendera
Ada yang habis, ada yang mengikis
Dan maksud baik kita
Berdiri di pihak yang mana !
5. Rumpun Alang-alang
Engkaulah perempuan terkasih, yang sejenak kulupakan, sayang
Karena dalam sepi yang jahat tumbuh alang-alang di hatiku yang malang
Di hatiku alang-alang menancapkan akar-akarnya yang gatal
Serumpun alang-alang gelap, lembut dan nakal
Gelap dan bergoyang ia
Dan ia pun berbunga dosa
Engkau tetap yang punya
Tapi alang-alang tumbuh di dada.
Baca Juga: Yang Fana Adalah Waktu, Karya Sapardi Abadi
6. Hai, Kamu!
Luka-luka di dalam lembaga,
Intaian keangkuhan kekerdilan jiwa,
Noda di dalam pergaulan antar manusia,
Duduk di dalam kemacetan angan-angan.
Aku berontak dengan memandang cakrawala.
Jari-jari waktu menggamitku.
Aku menyimak kepada arus kali.
Lagu margasatwa agak mereda.
Indahnya ketenangan turun ke hatiku.
Lepas sudah himpitan-himpitan yang mengekangku. ***