Selain itu, lanjut Zubairi Djoerban, FDA juga telah menyetujui dua obat sintetis tetrahydrocannabinol (THC).
“Obat-obatan ini digunakan untuk mengobati mual pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi (antimuntah), dan untuk meningkatkan nafsu makan pada pasien HIV/AIDS,” terangnya.
Baca Juga: Kamu Harus Tahu! Kebiasaan Ini Dapat Kurangi Risiko Kanker Payudara
Kendati demikian, ia menyebut bahwa belum ada temuan kalau obat ganja lebih baik, termasuk untuk nyeri kanker dan epilepsi.
“Namun ganja medis bisa menjadi pilihan atau alternatif, tapi bukan yang terbaik. Sebab, belum ada juga penyakit yang obat primernya adalah ganja,” tuturnya.
Di samping itu, ganja medis juga bisa memberikan efek ketergantungan dan halusinasi jika digunakan dengan dosis berlebihan dan tanpa pengawasan.
“Itulah sebabnya penggunaan ganja medis harus sangat ketat oleh dokter yang meresepkannya,” kata Zubairi.
Ia menerangkan, dosis ganja yang dibutuhkan untuk tujuan medis biasanya jauh lebih rendah daripada untuk rekreasi.
“Yang jelas, saat pengobatan, pasien tidak boleh mengemudi. Kemudian THC & CBD ini tidak boleh dipakai sama sekali perempuan hamil & menyusui,” ucapnya.
Baca Juga: Jangan Dibiarkan! Begini Cara Terbaik untuk Atasi Epilepsi pada Seseorang Menurut dr. Zaidul Akbar