Tidak Lagi Didukung, Kekuasaan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu Akan Tamat

- 13 Juni 2021, 16:44 WIB
Benjamin Netanyahu
Benjamin Netanyahu /Sumber: Jerusalem Post/

HALOYOUTH - Setelah 12 tahun berkuasa, perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu akan lengser pada Minggu ini, 13 Juni 2021 karena parlemen tidak mendukungnya kembali menjadi Perdana Menteri karena dinilai telah memecah belah.

Netanyahu, 71, politisi Israel paling dominan di generasinya dinilai gagal membentuk pemerintahan setelah pemilu Israel 23 Maret, yang keempat dalam dua tahun. Parlemen berbalik mendukung kabinet baru yang dirancang bersama oleh pemimpin oposisi tengah Yair Lapid dan ultra nasionalis Naftali Bennett. Kabinet baru ini diprediksi akan menang.

Bennett, jutawan teknologi mandiri, akan menjabat sebagai perdana menteri selama dua tahun sebelum nantinya digantikan Lapid, salah seorang mantan host TV kenamaan, mengambil alih.

Mereka akan memimpin pemerintahan yang terdiri atas partai-partai dari semua spketrum politik, termasuk untuk yang pertama kalinya mewakili 21 persen minoritas Arab. Mereka sebagian besar berencana menghindari langkah-langkah sweeping pada isu-isu internasional seperti kebijakan terhadap Palestina dan berfokus pada reformasi dalam negeri.

Baca Juga: 6 Manfaat Mengkonsumsi Kuaci, Sebagai Obat Penenang dan Menyehatkan Kulit

Dengan sedikit atau tidak adanya prospek terhadap penyelesaian konflik dengan Israel, banyak rakyat Palestina tidak akan tergugah oleh perubahan pemerintahan tersebut, karena masyarakat Palestina menilai, baik Bennett maupun Netanyahu sama-sama buruknya dalam menyelesaikan konflik.

Selamat Tinggal BIBI?

Di panggung internasional, dengan kefasihan berbahasa Inggris dan suara bariton yang menggelegar, Netanyahu yang telegenik menjadi wajah Israel. Menjabat sebagai perdana menteri untuk pertama kalinya pada 1990an, dan sejak 2009 sukses melanjutkan empat kali masa jabatan, ia menjadi sosok yang terpolarisasi, baik di dalam maupun di luar negeri.

Kerap dipanggil dengan sebutan Bibi, Netanyahu dicintai oleh para pendukung garis kerasnya dan dibenci oleh para kritikus. Sidang korupsinya yang sedang berlangsung, tuduhan yang dibantah oleh Netanhyahu, hanya memperparah perbedaan.

Para penentangnya telah lama mencela apa yang dianggap sebagai retorika pemecah Netanyahu, taktik politik licik dan penaklukan kepentingan negara untuk kelangsungan hidup politiknya sendiri. Sejumlah pihak menjulukinya 'Menteri Kejahatan' dan menuding dirinya tidak becus menangani kriris COVID-19 dan ekonomi negaranya.

Baca Juga: Jangan Dibuang! Lalat yang Masuk ke Minuman Masih Aman Dikonsumsi, Ini Kata Rasulullah

Perayaan dari para penentangnya untuk menandai kisah akhir era Netanyahu dimulai sejak Sabtu malam di depan kediaman resminya di Yerusalem, tempat digelarnya aksi protes mingguan terhadap pemimpin sayap kanan selama setahun terakhir, di mana terdapat spanduk hitam yang bertuliskan: Selamat Tinggal, Bibi, Selamat Tinggal.

Akan tetapi sebagian besar dan basis pemilih loyal Netanyahu, kepergian 'Raja Bibi' seperti yang disebutkan segelintir orang, kemungkinan sulit untuk diterima. Pendukungnya geram atas apa yang mereka lihat saat negara itu mendepak seorang pemimpin yang berdedikasi untuk keamanan dan benteng melawan tekanan internasional untuk setiap langkah yang dapat mengarah ke negara Palestina, bahkan saat ia mempromosikan kesepakatan diplomatik dengan Uni Emirat Arab, Bahrain, Maroko dan Sudan.

Namun, tak ada satupun dari langkah itu atau peran yang ia lakonkan dalam mengamankan vaksin COVID-19 untuk kampanye vaksinasi negara tersebut, cukup memberikan suara kepada partai Likud Netanyahu untuk mengamankan masa jabatan keenamnya.

Baca Juga: Sedang Berlangsung, Link Live Streaming Lamaran Rizky Billar dan Lesti Kejora: Takdir Cinta Leslar

Benett secara khusus menuai kemarahan dari dalam kubu sayap kanan lantaran melanggar janji kampanye dengan bergabung bersama Lapid. Ia membenarkan langkah itu dengan mengatakan pemilu yang lain, yang kemungkinan akan digelar jika tidak ada pemerintah yang dibentuk, yang bakal menjadi bencana bagi Israel.

Baik dirinya maupun Lapid mengaku mereka ingin menjembatani perpecahan politik dan menyatukan warga Israel di bawah pemerintahan yang akan bekerja keras untuk seluruh warga negaranya.

Kabinet mereka menghadapi tantangan diplomatik, keamanan dan keuangan yang sangat berat: Iran, gencatan senjata yang lemah dengan milisi Palestina di Gaza, penyelidikan kejahatan perang oleh Mahkamah Pidana Internasional (ICC) serta pemulihan ekonomi pascapandemi COVID-19.

Selain itu, partai koalisi campur aduk mereka hanya menguasai mayoritas tipis di parlemen, 61 dari 120 kursi Knesset, dan masih harus bersaing dengan Netanyahu - yang yakin akan menjadi kepala oposisi yang agresif. Dan tidak ada yang mengesampingkan kembalinya Netanyahu.***

Editor: Nahrul Muhilmi

Sumber: REUTERS


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah